Kamis, 20 September 2018

PERISTIWA G30SPKI


Gambar terkait


Sebab-sebab Munculnya G30S/PKI
Sejak D.N. Aidit terpilih menjadi ketua PKI tahun 1951, ia dengan cepat membangun kembali PKI  yang porak-poranda akibat kegagalan pemberontakan tahun 1948. Usaha yang dilakukan D.N. Aidit berhasil dengan baik, sehingga dalam pemilihan umum tahun 1955, PKI berhasil meraih dukungan rakyat dan menempatkan diri menjadi satu dari empat partai besar di Indonesia, yaitu PNI, Masyumi, dan NU.Tampaknya PKI berkeinginan merebub kekuasaan melalui parlemen pada masa Demokrasi terpimpin. Di samping itu, mereka juga terlihat mempersiapkan diri untuk mencapai tujuannya, yaitu berkuasa atas wilayah Republik Indonesia. Untuk itu dibentuk biro khusus yang secara rahasia bertugas mempersiapkan kader-kader di berbagai organisasi politik, termasuk dalam tubuh ABRI. PKI juga berusaha memengaruhi Presiden Soekarno untuk menyingkirkan dan melenyapkan lawan-lawan politik. Hal ini tampak dengan diubarkannya Partai Masyumi, PSI, dan Partai Murba oleh Presiden PKI juga berhasil memecah-belah PNI menjadi dua kelompok. Upaya itu ditempuholeh PKI dengan menyusupkan Ir. Surachman (seorang  tokoh PKI)ke dalam tubuh PNI.Setelah PKI merasa cukup kuat, dihembuskan isu bahwa pimpinan TNI Angkatan Darat membentuk Dewan Jendral yang akan melakukan kudeta terhadap Presiden Soekarno pada saat peringatan hari Ulang Tahun ABRI tanggal 5 Oktober 1965. PKI juga menyebutkan bahwa anggota Dewan Jendral itu adalah agen Nekolim (Amerika Serikat atau Inggris). Tuduhan itu ditolak oleh Angkatan Darat, bahkan Angkatan Darat langsung menuduh PKI yang akan melakukan perebutan kekuasaan. Namun dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun ABRI  pada tanggal 5 Oktober 1965, puluhan ribu tentara telah berkumpul di Jakarta bulan September 1965, sehingga dugaan-dugaan akan terjadinya kudeta semakin bertambah santer.
Peristiwa G30S/PKI
Menjelang terjadinya peristiwa G30S/PKI, tersiar berita bahwa kesehatan Presiden mulai menurun dan berdasarkan diagnosis dari tim dokter RRC ada kemungkinan Presiden Soekarno akan lumpuh atau meninggal. Setelah mengetahui keadaan Presiden Soekarno seperti itu,  D.N. Aidit langsung mengambil suatu keputusan untuk memulai gerakan. Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman (alia Syam) yang diangkat sebagai Ketua Biro Khusus PKI dan disetujui oleh D.N. Aidit. Biro Khusus itu menghubungi kadernya dikalangan ABRI , seperti Brigjen Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari TNI-AL, Marsekal Madya Omar Dani dari TNI-AU dan Kolonel Anwar dari kepolisian.
Menjelang pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali mengadakan pertemuan rahasia.  Tempat pertemuan terus berpindah dari suatu tempat ke tempat yamng lainnya. Namun serangkaian pertemuan itu, pimpinan PKI menetapkan bahwa G30s 1945 secara fisik dilakuakn dengan kekuatan militer yang dipimpin oleh Letnam Kolonel Untung, Komandan Batalyon I Resimen Cakrabirawa (Pasukan pengawal Presiden ) yang bertindak sebagai pimpinan formal seluruh gerakan.
Sebagai pemimpin dari Gerakan 30 September 1965, Letnam Kolonel Untung mengambil suatu Keputusan dan memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk siap dan mulai bergerak dini hari 1 Oktober 1965. Pada dini hari itu, mereka melakukan serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap enam perwira tinggi dan seorang perwira pertama dari Angkatan Darat. Para perwira Angkatan Darat disiksa dan selanjutnya di bunuh. Mereka dibawah ke lubang buaya, yaitu suatu tempat yang terletak disebelah selatan pangkalan udara utama Halim Perdana Kusuma. Selanjutnya korban itu dimasukkan ke dalam suatu sumur tua, kemudian ditimbun dengan sampah dan tanah. Ketujuh Korban dari TNI-Angkatan Darat adalah sebagai berikut.
Hasil gambar untuk G30SPKI
  1. Letnam Jenderal Ahmad Yani ( Menteri/Panglima Angkatan Darat atau Men Pangad).
  2. Mayor Jenderal R. Soeprapto (Deputy II Pangad).
  3. Mayor Jenderal Haryono Mas Tirtodarmo (Deputy III Pangad).
  4. Mayor Jenderal Suwondo Parman (Asisiten I Pangad).
  5. Brigadir Jenderal Donald Izacus Panjaitan (Asisten IV Pangad).
  6. Brigadir Jenderal Soetojo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur).
  7. Letnam Satu Pierre Andreas Tendean (Ajudan Jenderal A.H. Nasution).
Ketika terjadinya penculikan itu, Jenderal A.H. Nasution yang jiga menjadi target penculikan berhasil menyelamatkan diri setelah kakinya tertembak. Namun, putrinya yang bernama Ade Irma Suryani menjadi korban sasran tembak dari kaum penculik dan kemudian gugur. Ajudan Jenderal A.H. Nasution yang bernama Letnam satu Pierre Andreas Tendean juga menjadi korban. Sedangkan korban lainnya adalah pembantu Letnam Polisi Karel Satsuit Tubun. Ia gugur pada saat melakukan perlawanan terhadap gerombolan yang berusaha menculik Jenderal A.H Nasution.
Pada waktu bersamaan, G30S/PKI mencoba untuk mengadakan perebutan kekuasaan di Yogyakarta, Solo, Wonogiri dan Semarang. Selanjutnya gerakan tersebut  mengumumkan berdirinya Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI pada tanggal 1 Oktober 1965. Dewan Revolusi yang dipancarkan melalui siaran RRI itu dibacakan oleh Letnam Kolonel Untung. Sementara itu, Dewan Revolusi di Daerah Yogyakarta diketuai oleh Mayor Mulyono . Mereka telah melakukan penculikan terhadap Kolonel Katamso dan Letnam Kolonel Sugijono. Kedua Perwira TNI-AD ini dibunuh oleh gerombolan penculik di desa kentungan yang terletak disebelah utara Kota Yogyakarta.

Penumpasan G30S/PKI
Operasi penumpasa G30S/PKI yang dilancarkan pada tanggal 1 Oktober 1965 diusahakan sedapat mungkin tidak menimbulkan bentrokan senjata. Langkah yang pertama kali dilakukan adalah menetralisasi pasukan yang berada disekitar Medan Merdeka yang dimanfaatkan atau dipergunakan oleh kaum Gerakan 30 September. Pasukan tersebut bersal dari pasukan Batalyon 503/ Brawijaya dan anggota pasukan Batalyon 545/ Diponegoro. Anggota pasukan Batalyo 503/ Brawijaya  berhasil disadarkan dari keterlibatan Gerakan 30 September tersebut dan kemudian mereka ditarik ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur. Sedangkan Anggota pasukan 545/ Diponegoro berhasil ditarik mundur sekitar pukul 17.00 WIB oleh pihak Gerakan 30 September ke Lapangan Halim Perdana Kusuma.
Operasi militer tentang penumpasan Gerakan 30 September mulai dilakukan sore hari, tanggal 1 Oktober 1965 pukul 19.15 WIB. Sementara itu, pasukan RPKAD berhasil menduduki kembali gedung RRI pusat, gedung telekomunikasi dan mengamankan seluruh wilayah Medan Merdeka tanpa terjadi bentrokan bersenjata atau pertumpahan darah. Juga pasukan Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi berhasil menguasai Lapangan Banteng dam nengamankan BNI unit I dan percetakan uang Negara di daerah Kebayoran. Dengan demikian, dalam waktu yang sangat singkat, yaitu pada tanggal 1 Oktober 1965 itu juga kota Jakarta telah berhasil dikuasai kembali oleh ABRI dan kekuatan G30S/PKI yang membrontak telah berhasil dilumpuhkan.
Untuk menentramkan kegelisahan masyarakat dan menyadarkan pasukan yang terlibat dalam  G30S/PKI, maka dilakukan berbagai bentuk upaya. Diantaranya melalui siaran RRI pada pukul 20.00 WIB, Mayor Jenderal Soeharto selaku pimpinan sementara Angkatan Darat mengumumkan adanya usaha perebutan kekuasaan. Usaha perebutan kekusaan itu dilakukan oleh gerombolan yang menamakan dirinya”Gerakan 30 September 1965” serta penculikan terhadap enam perwira tinggi Angkatan Darat. Sementara itu Presiden dan Menko Hamkam/KASAB dalam keadaan aman dan sehat. Dinyatakan pula bahwa diantara Angkatan Dara, Angkatan Laut dan Kepolisian telah terjadi saling pebgartian untuk bekerja sama menumpas G30S/PKI. Mayjen Soeharto juga menganjurkan kepada rakyat Indonesia agar tetap tenang dan waspada.
Setelah berhasil diketahui bahwa basis utama dari G30S/Pki berada di sekitar lapangan Udara Halim Perdana Kusuma, maka langkah berikutnya dalah berupaya membebaskan pangkalan tersebut dari tangan G30S/PKI. Presiden Soekarno Dihimbau Untuk Meninggalkan Daerah Halim Perdana Kusuma. Hal ini dimaksudkan, untuk menjaga keselamatan apabila terjadi bentrokan fisik antara pasukan TNI dengan pasukan pendukung G30S/PKI yang bersembunyi di sekitar pangkalan  Udara Halim Perdana Kusuma.
Kemudian Presiden Soekarno meninggalkan Halim Predana Kusuma menuju Istana Bogor. Sedangkan pasukan RPKAD yang dibantu oleh pasukan  Batalyon 238 Kujang/ Siliwangi dan Batilyon 1 Kavaleri diperintahkan bergerak menuju sasaran. Juga didatangkan bantuan kekuatan pasukan sebanyak tiga kompi tempur Kavaleri pengintai yang langsung dipimpin oleh Komandan Kesejahteraan Kavaleri ( Dansenkav) Kolonel Subiantoro. Mereka tiba di Cijantung dan langsung diikutsertakan dalam gerakan untuk menutup jalan simpan tiga Cililitan, Kramat Jati dan simpan tiga Lanuma Halim – lubang buaya tanpa menemui  kesulitan. Pada puku 06.10 WIB tanggal 2 Oktober 1965 daerah pangkalan udara Halim Perdana Kusuma sudah berhasil dikuasai, walaupun sempat mendapat perlawanan kecil dan timbul kontak senjata. Kontak senjata juga terjadi pada saat dilakukangerakan pembersihan yang dilanjutkan hingga ke kampung-kampung di sekitar wilayah Lubang Buaya. Karena di daerah-daerah itu sebelumnya disinyalir dijadikan sebagai tempat latihan Kemiliteran Pemuda Rakyat dan Gerwani.
Dalam gerakan pembersihan kekampung-kampung di sekitar Lubang Buaya, Ajun Brigadir polisi (Abribtu /Kopral Satu)sukitman yang sempat ditawan oleh regu penculik Brigjen D.I. Panjaitan berhasil meloloskan diri. Kemudian pada tanggal 3 Oktober 1965 berhasil menemukan jazad perwira tinggi Angkatan darat yang di kuburkan dalam Sumur Tua. Pengangkatan senjata baru berhasil pada tanggal 4 Oktober 1965 oleh anggota RPKAD dan KKOL (marinir). Seluruh jenaza di bawah ke rumah sakit pusat Angkatan Darat (sekarang RSPAD Gatot Subroto) untuk di bersikan dan kemudian disemayamkan di Markas Besar Angkatan Darat. Keesokan harinya pada tanggal 5 Oktober 1965, jenaza para perwira tinggi Angkatan Darat itu dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Mereka danugrahi gelar pahlawan Revolusi serta diberi kenaikan pangkat setingkat lebih tinggi, anumerta.
Ketika berada di Halim Perdana Kusuma pada tanggal 1 Oktober 1965, Presiden soekarno mengeluarkan perintah yang ditujukan kepada seluruh  jajaran angkatan Bersenjata. Presiden Soekarno meminta untuk mempertinggi kesiapsiagaan dan untuk tetap di pos masin-masing serta hanya bergerak jika ada perintah. Seluruh rakyat agar tetap tenang dan meningkatkan kewaspadaan serta memelihara persatuan dan kesatuan nasional. Selain itu diumumkan bahwa pimpinan ngkatan darat untuk sementara waktu dipegang oleh Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI dan untuk melaksanakan tugas sehari-hari dalam angkatan darat ditunjuk untuk sementara  Mayor Jenderal Pranoto Reksosamudro, Asisten II Men/ Pangad. Perintah itu tidak segera diketahui oleh anggota ABRI yang berada di luar Halim. Oleh Karena itu, pada hari yang sama, sesuai dengan tata cara yang berlaku, Mayor Jenderal Soeharto menyatakan untuk sementara memegang pimpinan Angkatan Darat.

Pemulihan Keamanan dan Ketertiban
Untuk menyelesaikan masalah pemulihan keamanan dan ketertiban, pada tanggal 2 Oktober 1965 Presiden Soekarno memanggil semua panglima dari seluruh angkatan ke Istana Bogor. Dalam pertemuan itu diputuskan bahwa pimpinan Angkatan Darat langsung berada di tangan Presiden. Untuk menyelesaikan tugas sehari-hari dalam Angkatan Darat ditetapkan dan ditunjuk Mayor Jenderal Pranoto, dan Mayor Jenderal Soeharto diberi tugas untuk pemulihan keamanan dan ketertiban yang terikat dengan G30S/PKI. keputusan itu diumumkan melalui RRI pusat pukul 01.31, pada tanggal 3 Oktober 1965. Hal ini merupakan awal eksistensi Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib). Berdasarkan perintah tersebut, siang harinya Mayor Jenderal Soeharto melalui RRI mengumumkan pengangkatan dirinya selaku pelaksanaan pemulihan keamanan dan ketertiban yang akan dilaksanakan sebaik-baiknya
Dalam rangka penyelesaian masalah G30S/PKI digariskan beberapa kebijakan, diantaranya aspek politik diselesaikan oleh Presiden, aspek militer administratif diserahkan kepada Mayor Jenderal Pranoto, serta penyelesaian aspek militer teknis, masalh keamanan dan ketertiban di serahkan kepada Mayor Jenderal Soeharto. Setelah keluar pernyataan Presiden yang mengutuk G30S/Pki dan diduga PKI yang mendalangi atau yang berada di belakang gerakan tersebut, maka kemarahan dan kebencian rakyat terhadap Pki semakin menungkat. Antara lain dengan dibakarnya gedung Kantor Pusat PKI di jalan Keramat Raya. Rumah tokoh-tokoh PKI dan kantornya menjadi sasaran kemarahan rakyat. Aksi coret-coret menuntut pimpinan PKI diadili dan demonstrasi menuntut pembubaran PKI dipelopori oleh mahasiswa, pelajar dan orgaisasi massa (ormas) yang setia kepada pancasila.
Sementara itu, gerakan operasi pembersihan terhadap sisa-sisa G30S/PKI terus ditingkatkan. Kolonel A. Latief, Komandan yang telah dipecat dari Brigade Infranti/kodam Jaya ditangkap tanggal 11 Oktober 1965 di Tegal dalam perjalan melarikan diri ke Jawa Tengah. Walaupun peranan PKI makin kuat terungkap sebagai dalaang peristiwa G30S/PKI, dan demonstrasi yang menuntut pembubaran PKI semakin memuncak, namun Presiden Soekarno belum bertindak. Presiden Soekarno belum mengambil keputusan dan belum juga bertindak mengambil lngkah-langkah ke arah penyelesaian politik dari masalah G30S/PKI itu, sebagaimana yang telah dijanjikan. D.N. Aidit dalam pelariannya pada tanggal 6 Oktober 1965 dari Blitar mengirim surat pada Presiden. D.N. Aidit mengusulkan supaya melarang adanya pernyataan-pernyataan yang sifatnya mengutuk G30S/PKI, serta melarang adanya saling menuduh dan saling menyalahkan. Dengan demikian, diharapkan amarah rakyat kepada Pki semakin mereda. Pernyataan itu tidak membuat surut rakyat Indonesia untuk menuntut pembubaran PKI beserta organisasi massanya. Komando Daerah Militer (Kodam) juga turut membekukan PKI beserta organisasi massanya(Ormas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar